BABAD SUMEDANG



 Eyang Jaya Perkosa 

     Di suatu masa sekitar tahu 1527 di Wilayah Sumedang  berdiri Kerajaan islam Sumedang Larang ,  yang terletak di bagian selatan  Sumedang, yang berbatasan dengan Kerajaan GALUH, sebelah timur laut berbatasan dengan Kerajaan CIREBON, dan sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan PAJAJARAN, ibu kotanya bernama KUTAMAYA yang dikelilingi oleh beberapa gunung, Di sebelah utara berdiri tegak Gunung Tampomas, laksana seorang perajurit yang sedang menjaga keamanan negara, Gunung ini dihimpit oleh dua buah bukit dan dilalui oleh Sungai Cipeles yang mengalir tepat di tengah-tengahnya. Sumedang artinya Ingsun Madangan (menerangi).



     Rajanya bernama Prabu GEUSAN ULUN. Adapun arti  dari geusan adalah tempat 
dan ulun adalah orang yang dapat dimintai pertolongan. Prabu Geusan Ulun memang pula
dikenal sebagai seorang raja tempat rakyat meminta pertolongan, tempat rakyat berlindung 
dari segala marabahaya. 
        Demikianlah, sesuai dengan namanya Prabu Geusan Ulun adalah seorang raja yang adil, sangat mencintai rakyatnya, bersungguh-sungguh dalam mengolah negara, dan lebih mengutamakan kepentingan negara dan rakyatnya daripada kepentingan dirinya sendiri. Prabu Geusan Ulun itu sebetulnya masih keturunan Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Prabu Geusan Ulun adalah putra Pangeran Santri dari Ratu Pucuk Umum, sedangkan Ratu Pucuk Urnum itu adalah putri Sunan Corenda dari Ratu Nyi Mas Patuakan. Adapun Sunan Corenda adalah putra Guru Gantangan dan Guru Gantangan itu putra Prabu Siliwangi. Jadi, dengan demikian, Prabu Geusan Ulun itu dapat dikatakan keturunan keempat dari Prabu Siliwangi. 
       Bertepatan dengan waktu Prabu Geusan Ulun akan dinobatkan menjadi Raja Anom
menggantikan ayahanda Pangeran Santri, datanglah empat orang utusan dari Pajajaran. Keempat orang utusan itu ialah EMBAH JAYA PERKOSA atau EMBAH SAYANG HAWU, EMBAH NANGANAN atau Embah Batara Wiyati Wiradijaya, Embah Sangiang KONDANG HAPA, dan Embah Batara Pencar Buana atau Embah TERONG PEOT. Adapun maksud keempat orang utusan itu ialah untuk menyerahkan negara Pajajaran kepada Prabu Geusan Ulun, sebab Raja Pajajaran mendapat wangsit dari Dewa Sangiang Agung bahwa negara Pajajaran akan dikuasai oleh agama baru. Setiba di Sumedang Larang Embah Jaya Perkosa sebagai ketua utusan berkata kepada Pangeran Santri. 
"Paduka yang mulia! Hamba rnenyerahkan jiwa raga hamba, hamba mohon maaf atas segala kesalahan hamba bahwasanya kedatangan hamba ini tidak hamba beritahukan lebih dahulu kepada Paduka. Adapun hamba sekalian ini membawa titah Baginda Prabu Pajajaran.
      Mendengar berita dari utusan itu Pangeran Santri bersabda. 
"Saudaraku, janganlah ragu-ragu! Dengan lega hati aku menerima kalian. Aku bersyukur, kita dapat bertemu muka. Silakan sekarang ceritakan titah apa gerangan yang kalian bawa?" 
Segeralah Embah Jaya Perkosa menjawab. "Paduka yang mulia, Prabu Pajajaran menitipkan negara kepada Prabu Geusan Ulun, putra paduka, sebab telah tiba saatnya negara Pajajaran akan hilang. Adapun orang yang dipercaya mengolah negara tidak ada lagi kecuali keturunan Prabu Pajajaran yang tinggal di Sumedang Larang ialah Prabu Geusan Ulun. Karena itu, mohon putra Paduka menerimanya. Demikianlah titah Baginda Prabu Pajajaran." 
"Tidak jauh dari dugaan. Betul, sudah tiba saatnya. Sebenarnya waktu ini aku sedang menobatkan anakku menjadi Raja Anom Sumedang Larang dan kebetulan kalian membawa amanat dari Prabu Pajajaran. Karena itu, lebih baik kalian jangan pulang ke Pajajaran, tinggallah di sini membantu Raja Anom dan kalian akan dijadikan sesepuh negara," titah Pangeran Santri. 
     Kemudian diadakanlah pesta penobatan Prabu Geusan Ulun. Seluruh rakyat Sumedang Larang menyaksikan Prabu Geusan Ulun dinobatkan menjadi Raja Anom Sumedang Larang, yang sekarang daerahnya ditambah dengan Pajajaran sehingga batas di sebelah barat sepanjang Sungai Cisadane, di sebelah timur batasnya Cipamali, di sebelah utara batasnya Laut Jawa, dan di sebelah selatan Laut Kidul. Pada waktu penobatan itu Prabu Geusan Ulun mengenakan mahkota Kerajaan Siliwangi yang dibawa oleh keempat utusan. Demikian pula keempat utusan itu diangkat menjadi patih oleh Raja Anom, agar membantu mengolah negara karena terkenal akan keberaniannya dalam menghadapi musuh, mahir dalam silat, memanah dan menombak. 
      Demi menegakkan negara dan menunaikan seruan Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wassalam, Prabu Geusan Ulun pergi ke Demak untuk menuntut ilmu agama Islam. Setelah berunding dengan para penggawa, baginda berangkat diiringkan oleh keempat pembantunya. Ketika mesantren di Demak, Prabu Geusan Ulun adalah santri yang terpandai. Kepandaiannya tidak ada yang menandinginya. Demikian pula keempat pembantunya sembari menjaga baginda, mereka ikut juga belajar ilmu agama sehingga mereka tidak saja mahir dalam ilmu perang, tetapi juga mahir dalam ilmu agama serta taat dalam menjalankan ibadah. 
     Berita kepandaian dan kecerdasan Prabu Geusan Ulun itu sampai juga ke Cirebon sehingga Pangeran Cirebon mengutus penggawanya ke Demak agar Prabu Geusan Ulun sebelum pulang ke Sumedang Larang singgah dulu di Cirebon untuk bertukar pikiran tentang ilmu agama. Karena sangat pandai dan cerdas tak sampai dua tahun Prabu Geusan Ulun sudah selesai belajarnya, bahkan ilmunya menyamai gurunya. Sebelum pulang Prabu Geusan Ulun singgah dulu di Cirebon. Alkisah, Prabu Geusan Ulun sudah berada di Cirebon. Ketika baginda memasuki pendapa, para menak dan Pangeran Cirebon terpesona melihat Raja Sumedang Larang. Badannya tinggi besar, wajahnya tampan, hidungnya mancung, keningnya bercahaya, dan sikapnya ramah tamah. Pangeran Girilaya bersabda kepada para penggawa, "Agaknya Raja Sumedang Larang ini bukanlah sembarang raja, melainkan raja keramat sebab berbeda dengan raja lain. Keningnya yang bercahaya itu menandakan seorang raja yang unggul penuh dengan ilmu dan kesaktian." 
     Ketika Pangeran Geusan Ulun bertukar pikiran dengan Pangeran Girilaya, permaisuri Pangeran Girilaya menyajikan santapan. Ketika permaisuri melihat Prabu Geusan Ulun, permaisuri itu terpukau oleh ketampanan Prabu Geusan Ulun, jantungnya berdebar - debar, tangannya bergetar, air dalam cawan yang dipegangnya bergoyang - goyang sehingga tumpah. Melihat kejadian itu Prabu Geusan Ulun hanya tersenyum simpul dan mengucapkan terima kasih atas hidangannya, selanjutnya meneruskan percakapannya dengan Pangeran Girilaya. 
     Permaisuri Pangeran Girilaya, yang bernama Ratu Harisbaya. agaknya sejak saat itu jatuh hati kepada Pangeran Geusan Ulun. Pada suatu waktu Pangeran Girilaya mengadakan jamuan. Kebiasaan waktu itu sebelum jamuan dimulai, para tamu ditetesi minyak wangi lebih dulu untuk merapatkan persaudaraan. Ketika itu yang meneteskan minyak wangi ialah Ratu Harisbaya. Pada waktu giliran sampai pada Pangeran Geusan Ulun, Ratu Harisbaya mencubitnya sehingga Pangeran Geusan Ulun menahan diri agar jangan sampai terlihat oleh Pangeran Girilaya. 
     Akan tetapi hal itu diketahui oleh keempat pengawal Prabu Geusan Ulun yang merasa khawatir takut diketahui juga oleh Pangeran Girilaya. Perbuatan semacam itu bukan hanya sekali dua kali, melainkan setiap Prabu Geusan Ulun akan bersantap selalu mendapat cubitan. Oleh karena itu, demi tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, Prabu Geusan Ulun berkata kepada Pangeran Girilaya bahwa baginda tidak akan bermalam di keraton, tetapi di mesjid dengan alasan hendak menenangkan pikiran. Oleh Pangeran Girilaya permintaannya itu diizinkan. 
     Sebetulnya, Prabu Geusan Ulun bukannya tidak tertarik oleh kecantikan Ratu Harisbaya, tetapi perbuatan itu bertentangan dengan kepribadiannya. Prabu Geusan Ulun selalu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan bersikap tenggang rasa. Oleh karena itu, perbuatan Ratu Harisbaya dianggapnya hanya sebagai rintangan atau godaan yang akan menjatuhkan dirinya, negara, dan rakyatnya. 
     Pada suatu malam, ketika Prabu Geusan Ulun tidur di mesjid, tengah malam terdengar bunyi langkah orang yang mendekati baginda. Ketika sudah dekat ternyata orang itu adalah Ratu Harisbaya. Prabu Geusan Ulun sangat terkejut, seluruh badannya menggigil ketakutan, pikirannya gelap tidak tahu apa yang harus diperbuat. Segeralah baginda memanggil keempat pengiringnya, baginda mengajak berunding bagaimana caranya menasihati Ratu Harisbaya yang sudah tergila-gila olehnya, yang akan bunuh diri jika tidak terlaksana. Prabu Geusan Ulun sangat bingung menghadapi perkara yang sangat sulit itu sebab bila dihadapi berbahaya, tak dihadapi pun berbahaya, bagai makan buah malakama, dimakan mati ibu, tak dimakan mati bapak. 
     Tidak lama, Embah Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun. "Paduka yang mulia! Ratu Harisbaya lebih baik kita bawa saja ke Sumedang Larang sebab kita bawa atau tidak tetap akan menimbulkan keributan. Kita tetap akan dituduh berbuat tidak baik sebab Ratu Harisbaya meninggalkan suaminya pergi ke sini tengah malam." "Ya, kalau kalian bertanggung jawab, sanggup menahan serangan tentara Cirebon, apa boleh buat Ratu Harisbaya akan kami bawa ke Sumedang Larang", titah Prabu Geusan Ulun. "Paduka, hal itu serahkan saja kepada kami," jawab Embah Jaya Perkosa dan ketiga pengiringnya yang lain juga menganggukkan kepalanya tanda setuju. Malam itu juga Prabu Geusan Ulun, keempat pengiringnya, dan Ratu Harisbaya berangkat ke Sumedang Larang tanpa pamit lebih dulu kepada Pangeran Girilaya. 
     Keesokan harinya di karaton Cirebon gempar bahwa Ratu Harisbaya hilang meninggalkan Pangeran Gerilaya. Dicarinya ke mesjid, temyata tamu pun sudah tidak ada. Tidak ayal lagi tentu Putri Harisbaya dicuri oleh Prabu Geusan Ulun. Demikianlah dugaan orang - orang yang mencarinya. Segeralah Pangeran Girilaya membentuk pasukan untuk mengejar dan menyerang Prabu Geusan Ulun. Dalam pengejaran di suatu tempat tercium bau wangi pakaian Ratu Harisbaya. Tempat itu kemudian disebut Darmawangi. Pasukan tentara Cirebon bersiap - siap hendak menyergap Prabu Geusan Ulun. Terjadilah pertempuran yang seru antara ke empat pengiring dengan pasukan tentara Cirebon. Dalam pertempuran itu keempat pengiring ada di pihak yang unggul. Pasukan tentara Cirebon diamuk oleh Embah Jaya Perkosa sehingga lari tunggang langgang. 
     Prabu Geusan Ulun, keempat pengiringnya, dan Putri Harisbaya sudah tiba di Kutamaya. Ratu Harisbaya ditempatkan di sebuah tempat yang dijaga ketat oleh hulubalang. Baginda Prabu Geusan Ulun tidak berani dekat-dekat apalagi memegang tangannya sebab Putri Harisbaya belum menjadi istri, belum diceraikan oleh Pangeran Girilaya. Pada suatu hari Ratu Harisbaya melihat pedagang peda (sejenis ikan asin). Karena Ratu Harisbaya terkenang waktu di Cirebon akan peda maka dibelinya. Sesudah beliau membeli peda, pedagang itu bergegas pulang ke Cirebon. Ternyata pedagang itu adalah utusan dari Cirebon untuk menyelidiki Ratu Harisbaya. 
     Ketika Ratu Harisbaya di keraton, diceritakannya kepada Prabu Geusan Ulun bahwa telah dibelinya peda dari seorang pedagang. Baginda terkejut, dan berfikiran  tentu pedagang itu adalah mata- mata dari Cirebon sebab di Sumedang Larang tidak ada pedagang peda. Segeralah baginda memerintahkan Embah Jaya Perkosa menangkap pedagang peda. Pedagang itu tertangkap oleh Embah Jaya Perkosa dan dibunuhnya. Mayatnya diselipkan pada pohon gedang. Sampai sekarang tempat itu disebut Selagedang, di daerah Situraja. Demikian pula, waktu pedagang itu menumpahkan pedanya di suatu tempat karena berat dan tergesa - gesa pulang ke Cirebon, sekarang tempat itu disebut Pasir Peda, dekat kampung Serang. 
     Pada suatu waktu terbetiklah berita oleh Embah Jaya Perkosa bahwa tentara Cirebon akan menyerang Sumedang Larang. Berita itu segera disampaikan kepada ketiga temannya dan kemudian keempat orang itu menghadap Prabu Geusan Ulun untuk dirundingkan. Dalam perundingan diputuskan bahwa tentara Cirebon sebelum menyerang harus dihadang di perbatasan jangan sampai Sumedang Larang dijadikan medan pertempuran. Embah Jaya perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, "Paduka yang mulia!. Hamba berempat sanggup menghadap musuh,  Gusti jangan khawatir dan jangan gentar, diam saja di keraton. Hanya hamba akan memberi tanda yaitu hamba akan menanamkan pohon hanjuangi) di sudut alun - alun.


 " Nanti, jika perang sudah selesai, lihatlah! Jika pohon hanjuang itu rontok daunnya suatu tanda bahwa hamba gugur di medan perang, tetapi jika pohon itu tetap segar dan tumbuh subur, itu suatu tanda bahwa hamba unggul di medan perang." 

Setelah berkata demikian Embah Jaya Perkosa segera menanamkan pohon hanjuang di sudut alun-alun. Pohon hanjuang itu tumbuh dengan suburnya bagai ditanam sudah beberapa minggu saja. Selesai menanamkan pohon hanjuang, berangkatlah keempat andalan negara itu ke medan perang, mempertaruhkan nyawanya. 
     Sesampainya di perbatasan, betul juga bahwa tentara Cirebon sedang berjalan berbaris menuju Sumedang Larang. Melihat barisan tentara Cirebon yang sangat panjang itu segeralah keempat patih bersujud memohon perlindungan kepada Yang Maha Agung. Terjadilah perang yang seru sekali. Berkat kesaktian keempat patih itu tentara Cirebon banyak yang tewas. Embah Jaya Perkosa mengamukdi tengah-tengah barisan tentara Cirebon, terus mengobrak-abrik. Mayat bergelimpangan bertumpang tindih tak terhitung banyaknya sehingga beberapa tentara Cirebon yang masih hidup lari tunggang-langgang. 
     Tentara Cirebon yang masih hidup itu terus dikejar oleh keempat patih. Embah Jaya Perkosa yang telah banyak membunuh, makin bersemangat, dia terus mengejarnya, makin lama makin jauh dari ketiga temannya. Setelah sekian lamanya embah Jaya Perkosa tidak kelihatan kembali, sedangkan ketiga temannya sudah merasa kesal menunggu. Karena tidak kunjung datang, ketiga temannya pulang ke Sumedang Larang akan mengabarkan keadaan Embah Jaya Perkosa kepada Prabu Geusan Ulun. Setiba di keraton mereka bertiga ditanya oleh Prabu Geusan Ulun.

 "Hai, mana Embah Jaya Perkosa, tidak kelihatan?"
 "Paduka yang mulia, hamba tidak tahu. Ketika musuh sudah habis, kami bertiga menunggu Embah Jaya Perkosa yang sedang mengejar musuh yang masih hidup, tetapi dia tak kunjung kembali, entah pergi ke mana," 

kata Embah Nanganan. Mendengar berita hilangnya Embah Jaya Perkosa, Prabu Geusan Ulun bingung, tidak tahu apa yang harus dikerjakan, baginda mondar-mandir tidak karuan, bagai ayam lepas bertaji kehilangan tulang punggung Sumedang Larang, andalan Kutamaya. 
     Akhirnya dengan suara gugup tanpa melihat pohon hanjuang di sudut alun-alun, baginda memerintahkan agar semua rakyat yang mau mengabdi kepada baginda segera meninggalkan Sumedang Larang. Mendengar titah rajanya itu segeralah rakyat mengikuti rajanya dengan membawa apa saja yang dapat dibawanya. Waktu itu sebagian rakyat sedang bergotong-royong mendandani pasar, sedang memperbaiki pasar. Rakyat yang sedang bergotong royong itu melihat rajanya berangkat diiringkan oleh barisan rakyat yang panjang sekali, mereka pun ikut berangkat tidak peduli kepada pasar yang sedang didandani, semua bahan dan perkakas untuk pasar ditinggalkan. sampai sekarang tempat itu disebut Kampung Darangdan. 
     Rombongan Prabu Geusan Ulun sudah sampai di Batugara. Di sana permaisuri baginda, yang bernama Nyi Mas Gedeng Waru, sakit keras sampai wafatnya. Karena Batugara tidak cocok untuk keraton kemudian terus menuju lereng sebuah gunung, di sana dapat melihat pemandangan ke mana-mana. Sesudah beristirahat, lereng gunung itu dibuka dan didirikanlah keraton serta alun-alun. Bekas alun-alun itu sekarang masih ada disebut Dayeuhluhur. 
     Syahdan, Embah Jaya Perkosa yang mengejar-ngejar sisa tentara Cirebon, kemudian kembali ke medan perang semula, tempat ketiga temannya menunggu. Ketika tiba di sana ketiga temannya tidak ada, dicarinya ke mana-mana tidak dijumpainya, kemudian dia berteriak sekeras-kerasnya, "Nanganaan! Kondaaang! Buanaaa! di mana kalian!" Dengan marah Embah Jaya Perkosa lari sekuat tenaga, cepat bagai anak panah yang dilepaskan menuju Kutamaya. 
     Setiba di sana seorang pun tidak ditemukannya, terus dia lari ke alun-alun melihat pohon hanjuang yang ditanamnya dahulu. Ternyata pohon itu tumbuh subur, daunnya banyak. Dengan demikian dia bertambah marah. 
     Ketika berpaling ke sebelah timur terlihat olehnya asap mengepul-ngepul di lereng gunung. Dengan mengentakkan kakinya keras-keras ke bumi, seketika itu juga dia sudah berdiri, sudah "ngadeg" di lereng gunung itu. Gunung itu sekarang disebut Gunung Pangadegan. Tidak lama Embah Jaya Perkosa sudah berhadapan dengan Prabu Geusan Ulun, dia menyembah kemudian berkata.
  "Gusti! Mengapa kerajaan Gusti tinggalkan? Tidaklah Gusti percaya kepada hamba?" Prabu Geusan Ulun bertitah dengan suara perlahan-lahan. 
   "Oh, Eyang! Eyanglah tulang punggung Kerajaan Sumedang Larang. Kami merasa gugup setelah mendengar berita bahwa Eyang tewas dalam medan perang. Kami ingin menyelamatkan rakyat maka kami pergi meninggalkan Kutamaya. Dari sini terlihat jelas ke mana-mana dan musuh pun dari jauh sudah terlihat".
 "Mengapa Gusti tidak melihat tanda yaitu pohon hanjuang yang hamba tanam?". "Maafkan kami Eyang. Ketika itu kami sama sekali lupa."
 "Dari siapa Gusti mendengar kabar bahwa hamba telah tewas?" 
"Dari Embah Nanganan."   
Mendengar jawaban Prabu Geusan Ulun demikian itu, Embah Jaya Perkosa menjadi - jadilah marahnya. Ketika itu juga Embah Nanganan ditikamnya sampai meninggal dunia. Adapun temannya yang dua orang lagi yaitu embah Kondang Hapa dan EmbahBatara Pencar Buana ditangkapnya dan dilemparkan melampaui gunung. Embah Kondang Hapa jatuh di Citengah. Sampai sekarang penduduk Citengah masih percaya bahwa tidak boleh mengucapkan kata "hapa" sebab roh Embah Kondang Hapa menitis kepada yang mengucapkannya. 
     Makamnya sampai sekarang masih ada di Citengah. Embah Batara Pencar Buana atau Embah Terong Peot jatuhnya di daerah Cibungur. Konon, setelah ketiga temannya menjadi korban kemarahannya, Embah Jaya Perkosa mengucapkan kata-kata,

 "Kalau ada keturunanku, di Kutamaya sejak saat ini janganlah mau mengabdi kepada menak sebab kerja berat tetapi tidak terpakai. Besok lusa jika aku dipanggil oleh Yang Maha Agung, mayatku janganlah sekali - kali dibaringkan, tetapi harus didudukkan. Jika ada anak cucuku atau siapa saja yang hendak menengok kuburanku janganlah memakai kain batik (dari Jawa)" 

Setelah mengucapkan kata-kata itu Embah Jaya Perkosa terus ke Gunung Renngganis, di puncak gunung itu dia berdiri, kemudian menghilang, menghilang tanpa bekas. Di atas gunung tempat berdirinya Embah Jaya Perkosa kemudian ditemukan batu yang berdiri sampai sekarang batu itu menjadi batu keramat. Adapun Prabu Geusan Ulun sepeninggal keempat patihnya itu tidak pindah ke mana-mana, tetap mengolah negara Dayeuh luhur sampai wafatnya.







UYUT DJAYAPERKOSA VERSI CIPANCAR - BAGINDA



Lalakon Embah Jaya Perkasa Versi Desa Cipancar Sumedang Selatan



Pintu Gerbang Ke Arah Makam Eyang Tajur (Eyang Sutra Ngumbar dan Eyang Jaya Perkasa Di Pemakam Tajur Desa Cipancar Kecamatam Sumedang Selatan
Salian Patilasan Tongkat Embah Jaya Perkasa anu di Dayeuh luhur, aya oge Patilasan Embah Jaya Perkasa di Desa Cipancar Kecamatan Sumedang. 



Makam Embah Jaya Perkosa di Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan

Urang pedar lalakonna versi Abah H. Mahmud Suhardi almarhum. Saleresna nu ngabentenkeun Versi Dayeuh Luhur sareng Versi Cipancar mung sakedik, nalika kuncen sepuh abah H. Mahmud Suhardi teu acan pupus, kantos tetelepek ngeunaan versi ieu, saur anjeunna, Versi Dayeuh Luhur nyebatkeun, "yen Mbah Jaya Perkasa saparantosna nyeceubkeun iteuk teh ngalambangkeun kabenduan manahna, sareng ngecagkeun kaluuhanna nu janten senapati Sumedanglarang, ulun kamula atanapi ngabdikeun diri ka Nalendra Sumedanglarang mung dugi seumet harita, saparantos kedal nyarita kitu sareng kajantenan nancebkeun iteuk Embah Jaya Perkasa ngahyang atanapi ngaleungit".

H. Mahmud Suhardi (Alm)

Sedengkeun kocap kasauran kuncen sepuh Abah Mahmud nyebatkeun :


"Ngahyang teh pikeun ngaleungitkeun tapak supados anjeuna teu dipilarian deui pami dianggap ngahyang mah, padahal salira Mbah Jaya Perkosa lumungsur ka Cigobang ngadehes atanapi seja amitan ka Ratu Tjukang Gedeng Waru Prameswari Prabu Geusan Ulun putrina ti Sunan Pada Karedok, saparantos amitan ka Gusti Ratu Tjukang Gedeng Waru lajeng anjeunna ngajugjug Kampung Baginda anu aya di wewengkon Cipancar Sumedang Selatan, naon nu janten kasang tukang Embah Jaya Perkasa ngajugjug ka kampung Baginda? saur kuncen sepuh ngawaler, yen di kampung baginda baris nepangan putra-putra Prabu Siliwangi anu terakhir (Surya Kencana) diantarana seja nepangan Embah Sutra Ngumbar, Embah Sutra Bandera".   

Mung aya nu janten kahelok simkuring, nalika kuncen sepuh nyaurkeun :  

"Saenyana Mahkota Bino Kasih dicandak Kandaga Lante ka Sumedang teh seja dipasrahkeun ka Sutra Ngumbar putra Prabu Siliwangi anu pangageungna, mung pangemut Embah Sutra Ngumbar daripada Mahkota aya dikami leuwih hade pasrahkeun ieu Mahkota Pajajaran ka Raja Sumedanglarang, da sarua wae saturunan jeung sakaruhun jeung kami. Pasrahkeun ieu mahkota jeung sakabeh kakawasaan pajajaran ka Sumedaglarang, nu antukna sadaya Kandaga Lante tumut ka sabda atanapi cariosan Embah Tajur atawaEyang Sutra Ngumbar, singkatna carita mahkota, sadaya kakawasaan pajajaran janten milik Sumedanglarang". 

Lajeng anu ngabentenkeun sajarah numutkeun kasauran abah Mahmud teh saparantos dianggap ngahyang Embah Jaya Perkasa teh saleresna mulih deui ka Embah Tajur, mung salirana nyurup sareng urang lembur supados teu katangen ku ti karajaan Sumedanglarang. 

Waktos harita simkuring oge tumaros, naha nembe ayeuna abdi ngadangu pedaran sajarah ieu mah? kuncen sepuh ngawaleur, sa enyana kawit kuncen sepuh ti kapungkur oge mahing pikeun medar ieu sajarah, naon sababna? apanan atos dipedar tadi oge Embah Jaya Perkasa nyurup sareng urang lembur anu hartosna Nyumput Buni Dinu Caang, nembrak bari teu katembong, lamun kuncen medar ieu lalakon sarua jeung ngabejer-beaskeun atanapi nenggrakkeun pangyumputanna Embah Jaya Perkasa. 



Lajeng abdi oge tumaros deui, naha ka abdi dipedarkeun ieu lalakon? lantaran salira janten pangurus Paguyuban Kuncen, nu kedah apal kana lalakon "Karuhun Sumedang", bisi umur abah pondok jadi geus katepikeun ka hidep, mung kumaha saupamina abdi gaduh emutan ngadugikeun ieu lalakon ka wargi-wargi Sumedang? Abah teu bisa ngajawab palebah eta mah, lamun gaduh tekad kitu mah jug geura wudhu, wayahna peuting ayeuna salira ngendong di makamna, sok tepikeun pamaksadaan salira eta, tapi abah moal bisa nganteur, omat anggo tatakrama ziarahna supaya ulah mengpar jeung ajaran Agama Islam, muntang kanu Maha Kawasa mugia ulah janten matak saupamina salira medar ieu lalakon ka umum. 

Saupami nengetan caritaan Versi Darmaraja, ieu versi Cipancar hampir mirip kirang langkung kieu : Anu masrahkeun mandat karajaan Pajajaran ka Sumedanglarang, rombongan dipupuhuan ku Prebu Sayang Hawu, 

salaku Komandan pasukan harita nyaeta Embah Nangganan, disarengan ku Embah Terong Peot sareng Embah Kondang Hapa. 

Prebu Sayang Hawu, salajengna disebut Embah Jayaperkasa tepi ka ayeuna, gelar eta dipibanda ku Prebu Sayang Hawu basa perang jeung Caruban. 

Embah Nangganan ngaluluguan pindah ti Kutamaya ka Gunung Curi pikeun nyalametkeun Naledra Sumedanglarang, nu ayeuna disebut Dayeuh Luhur, kulantaran Embah Nangganan teu tigin janjina kana siloka Hanjuang Hegar. 

Saur Prebu Sayang Hawu (Jaya Perkasa) : "Mun Hanjuan Perang Tandana Kami kasoran Pek Ku Maneh Raja Jeung Rahayat Salametkeun, Tapi Lamun Hanjuang Tetep Hegar, Maneh Teu Kudu Hariwang Caricing Wae di dieu". 

Embah Nangganan ditelasan ku Prebu Sayang Hawu (Jaya Perkosa) alatan mawa pindah Raja ti Karaton Kutamaya ka Gunung Curi. Embah Terong Peot sareng Embah Kondang Hapa terus babakti ka Prabu Geusan Ulun dugi rengsena. 

Prabu Sayang Hawu (Jaya Perkosa) turun ka Baginda nuturkeun salah sahiji pangagung Pajajaran nu milu jeung rombongan, ngan teu milu nalika pindah ka Kutamaya, nyaeta Sutra Ngumbar putra Prabu Siliwangi anu pangageungna. Tapi Prebu Sayang Hawu (Jaya Perkosa) tetep nalingakeun nalendrana karajaam Sumedanglarang anu Raja Nalendrana Prabu Geusan Ulun, ngan teu campur di Karaton pangpindahan di Dayeuhluhur, dugi ka rengsena. 


Makam Prebu Sayang Hawu (Jaya Perkosa) ayana di Cipancar kacamatan Sumedang Selatan, lain anu di luhur Gunung Curi (Dayeuh Luhur) nu Tetengger Tunggal, da eta mah geus aya ti heula disebutna Kabuyutan Gunung Curi (Dayeuh Luhur).

Tetenger Hiji Kabuyutan Gunung Curi
Hatur punten kumargi kapungkur abdi mung ngadangukeun, teu kaserat sadayana pedaran lalakon versi Cipancar, mung garis ageungna kitu, kirang sareng langkung neda tawakup wae, bilih aya lepat hapunten anu kasuhun, abdi mung hoyong medar ieu lalakon teu aya sanes mung saukur hoyong terang sareng ngadugikeun aya Lalakon Embah Jaya Perkasa Versi Cipancar, kanggo ngalengkeupan "Wawasan Sajarah Lokal Sumedang", leres atanapi henteuna mangga nyanggakeun kasadayana wae, abdi moal ngirangan sumawon na ngalangkungan, sieun ku bisi rempan ku sugan, mugia tiasa janten risalah kanu "Sajarah Lokal Sumedang".


Dikutip tina :  
- Paguyuban Kuncen Pancer Buana Sumedang", babadsunda.blogspot.com
-  Carita Versi Darmaraja

Komentar

  1. Boleh nanya gan, yang bener itu yang mana yah, dalam penulisan nama tokoh..

    Mbah jaya perkasa atau kah jaya perkosa,,?

    Menurut saya kata itu mempunyai konotasi arti yang berbeda gan..
    Perkasa itu bisa di artikan gagah, tangguh,kuat...

    Perkosa itu bisa di artikan merebut hak, atau pecehan seksual...

    Mohon pencerahan nya gan..

    saya sedih kalo nama beliau tokoh sejarah urang sunda menjadi
    Kesan nya mbah jaya perkosa..

    Teundeun di handeuleum sieum tunda di hanjuang siang, tempat nyimpeun sareung nyandak, kanggo eungke jaga..
    Hatur nuhun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perkasa artinya gagah mengagumkan, variannya dalam bahasa melayu memerkosa artinya menggagahi,...

      Diturunkan dari bahasa sanskrit Prakasa artinya cahaya terang benderang.. Dalam bahasa Sunda Prakasa itu diucapkannya Perkosa, ya arti yg dimaksud gagah dan mengagumkan.. Bukan penjahat sexual.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baraya jarambah-4 Nagara Tumasek-Singapura